Jembatan Merah seolah membawa traveler kembali dalam kisah perjuangan
masyarakat Surabaya. Pada masa pendudukan Sekutu, jembatan ini menjadi
saksi bisu perjuangan heroik melawan Sekutu di Surabaya.
Pertempuran Surabaya tidak hanya menelan korban jiwa, raga dan harta
benda. Bukti kisah kepahlawanan arek-arek Suroboyo ini masih bisa kita
saksikan keberadaannya. Sekarang dijadikan objek wisata Kota Surabaya.
Perjalanan kami ke Surabaya kali ini, menuju kawasan bisnis pecinan
di daerah Kembang Jepun, Surabaya. Ada peralatan rumah yang harus kami
beli karena rusak. Kami ingat bahwa di daerah Kembang Jepung menjadi
sentra suku cadang peralatan rumah kami.
Sepulang berbelanja, kami pun mampir sejenak di Taman Jayengrono,
Jalan Jembatan Merah Surabaya. Sambil menenggak air minum dalam veltvles
yang sudah disiapkan istri sejak pagi tadi.
Pikiran saya menerawang jauh ke masa silam. Di dekat Taman Jayengrono
yang kami singgahi ini, ada beberapa bangunan yang menjadi saksi bisu
perjuangan rakyat Surabaya melawan tentara Sekutu.
Apalagi masih segar dan terngiang-ngiang di ingatan kami, lirik lagu
Jembatan Merah karya almarhum Gesang. Semakin membuat kami larut dan
ikut terbawa ke masa silam.
"Jembatan merah sungguh gagah berpagar gedung indah. Sepanjang hari
yang melintasi silih berganti. Mengenang susah hati patah teringat zaman
berpisah. Kekasih pergi sehingga kini belum kembali. Biar jembatan
merah, seandainya patah. Akupun bersumpah. Akan kunanti dia di sini
bertemu lagi."
Begitu kira-kira cuplikan lagu yang menggambarkan kisah perpisahan
seorang wanita yang melepas lelaki pujaan hatinya untuk berjuang di
medan pertempuran Surabaya. Betapa saat itu lelaki dan wanita sudah
bahu-membahu secara ihlas berjuang melawan penjajah. Demi terciptanya
Indonesia merdeka.
Jembatan Merah sendiri dibangun atas kesepakatan Pakubuwono II dari
Mataram dengan VOC, sejak 11 November 1743. Dalam perjanjian, disebutkan
kalau beberapa daerah pantai utara, termasuk Surabaya, diserahkan ke
VOC, termasuk Surabaya yang saat itu berada di bawah kolonial Belanda.
Sejak saat itu, daerah Jembatan Merah menjadi kawasan bisnis dan
menjadi jalan satu-satunya yang menghubungkan Kalimas dan Gedung
pemerintahan di Surabaya. Dengan kata lain, Jembatan Merah merupakan
sarana yang sangat penting pada era itu.
Jembatan Merah berubah secara fisik sekitar tahun 1890-an. Saat itu,
pagar pembatas diubah dari kayu menjadi besi. Jembatan Merah
menghubungkan kawasan Rajawali dengan pusat bisnis pecinan di daerah
Kembang Jepun, Surabaya.
Pada hari-hari tertentu, kawasan Kembang Jepun banyak dikunjungi
wisatawan untuk yang jalan-jalan sambil jajan. Tempat ini pun menjadi
ajang berjualan segala macam jajanan. "Kya-Kya" menjadi program car free
day di kawasan Kembang Jepun ini.
Selain itu, Jembatan Merah juga berada tidak jauh dari jembatan yang
menginspirasi maestro keroncong Indonesia Alm Gesang. Saat menciptakan
lagu nasional ini, berdiri gedung cantik yang bisa dipastikan sebagai
saksi bisu perjuangan warga Surabaya melawan tentara Sekutu di Surabaya.
Ya Gedung Internatio namanya. Sejarah telah banyak menggaungkan kisah
tentang betapa heroiknya arek-arek Surabaya melawan penjajah. Kisah
kepahlawanan yang dikenal adalah saat pemuda-pemuda Surabaya merobek
bendera Belanda di Hotel Majapahit.
Tapi ada satu momen yang juga sangat bersejarah dan tidak banyak diketahui orang adalah saat tewasnya pimpinan tentara Inggris,
Brigadir Jenderal Aubertin Mallaby. Banyak orang mengira bahwa Mallaby
tewas di Jembatan Merah, tetapi sebenarnya peristiwa itu terjadi di
sekitar Gedung Internatio. Tempat inilah yang menjadi markas tentara
Sekutu.
Setelah pasukan Brigjen Mallaby mendarat di pelabuhan Tanjung Perak
pada tanggal 25 Oktober 1945, gedung ini kemudian dikuasai oleh tentara
Sekutu. Pada tanggal 28-30 Oktober 1945, gedung ini dikepung oleh
pejuang-pejuang Indonesia. Sewaktu berusaha menghentikan peristiwa
tembak-menembak tersebut ternyata Brigjen Mallaby juga ikut tewas
terbakar bersama mobilnya.
Setelah puas beristirahat di Taman Jayengrono. Angan kami pulih
seolah baru terbangun dari tidur siang. Lupa bahwa mendung sudah
menggelayuti kawasan Jembatan Merah. Kamipun bergegas meninggalkan
tempat ini. Sembari mampir sejenak di jalan Rajawali untuk membeli
lontong balap Rajawali yang terkenal itu sebagai oleh-oleh keluarga di
rumah.