Mengenal Asal-Usul Sejarah Jembatan Merah Surabaya

Saturday, November 23, 2013 | comments

Jembatan Merah seolah membawa traveler kembali dalam kisah perjuangan masyarakat Surabaya. Pada masa pendudukan Sekutu, jembatan ini menjadi saksi bisu perjuangan heroik melawan Sekutu di Surabaya.
Pertempuran Surabaya tidak hanya menelan korban jiwa, raga dan harta benda. Bukti kisah kepahlawanan arek-arek Suroboyo ini masih bisa kita saksikan keberadaannya. Sekarang dijadikan objek wisata Kota Surabaya.
Perjalanan kami ke Surabaya kali ini, menuju kawasan bisnis pecinan di daerah Kembang Jepun, Surabaya. Ada peralatan rumah yang harus kami beli karena rusak. Kami ingat bahwa di daerah Kembang Jepung menjadi sentra suku cadang peralatan rumah kami.
Sepulang berbelanja, kami pun mampir sejenak di Taman Jayengrono, Jalan Jembatan Merah Surabaya. Sambil menenggak air minum dalam veltvles yang sudah disiapkan istri sejak pagi tadi.
Pikiran saya menerawang jauh ke masa silam. Di dekat Taman Jayengrono yang kami singgahi ini, ada beberapa bangunan yang menjadi saksi bisu perjuangan rakyat Surabaya melawan tentara Sekutu.
Apalagi masih segar dan terngiang-ngiang di ingatan kami, lirik lagu Jembatan Merah karya almarhum Gesang. Semakin membuat kami larut dan ikut terbawa ke masa silam.
"Jembatan merah sungguh gagah berpagar gedung indah. Sepanjang hari yang melintasi silih berganti. Mengenang susah hati patah teringat zaman berpisah. Kekasih pergi sehingga kini belum kembali. Biar jembatan merah, seandainya patah. Akupun bersumpah. Akan kunanti dia di sini bertemu lagi."
Begitu kira-kira cuplikan lagu yang menggambarkan kisah perpisahan seorang wanita yang melepas lelaki pujaan hatinya untuk berjuang di medan pertempuran Surabaya. Betapa saat itu lelaki dan wanita sudah bahu-membahu secara ihlas berjuang melawan penjajah. Demi terciptanya Indonesia merdeka.
Jembatan Merah sendiri dibangun atas kesepakatan Pakubuwono II dari Mataram dengan VOC, sejak 11 November 1743. Dalam perjanjian, disebutkan kalau beberapa daerah pantai utara, termasuk Surabaya, diserahkan ke VOC, termasuk Surabaya yang saat itu berada di bawah kolonial Belanda.
Sejak saat itu, daerah Jembatan Merah menjadi kawasan bisnis dan menjadi jalan satu-satunya yang menghubungkan Kalimas dan Gedung pemerintahan di Surabaya. Dengan kata lain, Jembatan Merah merupakan sarana yang sangat penting pada era itu.
Jembatan Merah berubah secara fisik sekitar tahun 1890-an. Saat itu, pagar pembatas diubah dari kayu menjadi besi. Jembatan Merah menghubungkan kawasan Rajawali dengan pusat bisnis pecinan di daerah Kembang Jepun, Surabaya.
Pada hari-hari tertentu, kawasan Kembang Jepun banyak dikunjungi wisatawan untuk yang jalan-jalan sambil jajan. Tempat ini pun menjadi ajang berjualan segala macam jajanan. "Kya-Kya" menjadi program car free day di kawasan Kembang Jepun ini.
Selain itu, Jembatan Merah juga berada tidak jauh dari jembatan yang menginspirasi maestro keroncong Indonesia Alm Gesang. Saat menciptakan lagu nasional ini, berdiri gedung cantik yang bisa dipastikan sebagai saksi bisu perjuangan warga Surabaya melawan tentara Sekutu di Surabaya.
Ya Gedung Internatio namanya. Sejarah telah banyak menggaungkan kisah tentang betapa heroiknya arek-arek Surabaya melawan penjajah. Kisah kepahlawanan yang dikenal adalah saat pemuda-pemuda Surabaya merobek bendera Belanda di Hotel Majapahit.
Tapi ada satu momen yang juga sangat bersejarah dan tidak banyak diketahui orang adalah saat tewasnya pimpinan tentara Inggris, Brigadir Jenderal Aubertin Mallaby. Banyak orang mengira bahwa Mallaby tewas di Jembatan Merah, tetapi sebenarnya peristiwa itu terjadi di sekitar Gedung Internatio. Tempat inilah yang menjadi markas tentara Sekutu.
Setelah pasukan Brigjen Mallaby mendarat di pelabuhan Tanjung Perak pada tanggal 25 Oktober 1945, gedung ini kemudian dikuasai oleh tentara Sekutu. Pada tanggal 28-30 Oktober 1945, gedung ini dikepung oleh pejuang-pejuang Indonesia. Sewaktu berusaha menghentikan peristiwa tembak-menembak tersebut ternyata Brigjen Mallaby juga ikut tewas terbakar bersama mobilnya.
Setelah puas beristirahat di Taman Jayengrono. Angan kami pulih seolah baru terbangun dari tidur siang. Lupa bahwa mendung sudah menggelayuti kawasan Jembatan Merah. Kamipun bergegas meninggalkan tempat ini. Sembari mampir sejenak di jalan Rajawali untuk membeli lontong balap Rajawali yang terkenal itu sebagai oleh-oleh keluarga di rumah.

Monumen Jalesveva Jayamahe

| comments



Monumen Jalesveva Jayamahe yang terletak diujung Utara Surabaya menampilkan sosok
Perwira TNI Angkatan Laut berpakaian PDU - 1 lengkap dengan pedang kehormatan menatap ke arah   laut  berdiri tegak di atas bangunan gedung dengan  ketinggian  keseluruhan  mencapai 60,6 m. Menggambarkan generasi penerus dengan penuh keyakinan dan kesungguhan siap menerjang ombak badai menuju arah yang telah ditunjukkan yaitu cita-cita bangsa Indonesia.
Kata Jalesveva Jayamahe itu sendiri merupakan semboyan dari TNI-AL yang memilki arti di laut kita jaya. Material monumen terbuat dari tembaga dan arsiteknya adalah I Nyoman Nuarte. Seniman yang juga menggubah patung Garuda Wisnu Kencana di Bali. Bangunan pondasi Monjaya terdiri dari 4 lantai. Yang paling atas adalah di tempat menapaknya kaki patung perwira. Dari sana kita bisa melihat dengan lapang seluruh dermaga Tanjung Perak.
Di depan Monumen Jalesveva Jayamahe terdapat sebuah Gong ukuran raksasa bernama “Kyai Tentrem”. Berdiameter 6 meter dan beratnya 2 ton. Bahan-bahan tembaga yang tersisa dari proses konstruksi patung akhirnya dibuatkan gong untuk acara peresmiannya.


Monumen dengan ketinggian 31 meter ini berdiri di atas bangunan setinggi 29 meter, bukan hanya sekedar sebagai pemanis aja loh. Tapi Patung itu juga berfungsi sebagai mercusuar pemandu bagi kapal – kapal yang melintas di laut sekitarnya. Monjaya dibangun sejak 1990 dengan biaya Rp. 27 Milyar. Sang Kolonel itu berangka baja dan berkulit tembaga, dirancang oleh pematung kenamaan asal Bandung, Nyoman Nuarta.

Ada juga maket Koarmatim dengan skala 1 : 1200. Sebanyak tujuh buah maket kapal dengan berbagai ukuran diletakkan di ruangan bundar tersebut. Salah satunya Kapal Selam KRI Pasoepati yang kini di gunakan sebagai Monumen Kapal Selam (Monkasel) di Jalan Pemuda Surabaya. Memasuki Lantai dua, Koleksi yang ditampilkan lebih beragam. Tembok sisi timur dihiasi pigura berukuran 10 dan 12 R, yang ada gambarnya seluruh kapal perang yang ada di Koarmatim. Di lantai itu juga ada ruang berisi foto – foto khusus kesatuan.
Gedung penopang dibuat dari beton bundar empat lantai. Pada bagian dinding gedung itu, dibuat diorama sejarah kepahlawanan TNI – AL sejak zaman prarevolusi fisik sampai 1900-an.
Fungsinya adalah sebagai museum TNI – AL sekaligus tempat rapat. Saat ini, baru dua lantai yang sudah berfungsi sebagai museum. Di lantai satu, pengunjung bisa melihat poster –poster tentang pembangunan Monjaya.
Melalui jalan darat, Monjaya bisa diakses lewat 2 jalur. Pertama lewat Jl. Perak Timur menuju Jembatan Petekan, sedangkan jalur kedua lewat Jl. Sidotopo. Kedua jalur ini akan berujung di Pintu Gerbang Armatim
Disarankan sebelum mengunjungi kawasan Monjaya ini terlebih dulu menghubungi pihak Dinas Pembinaan Potensi Maritim Armatim (DISPOTMAR KOARMATIM).
Dalam perjalanan masuk ke Monjaya kita akan melewati beberapa penjagaan TNI AL karena posisi patung tersebut berada di basis Armada Timut TNI AL. Wajar aja kan ribet? karna di kawasan tersebut ada banyak rahasia negara yang nggak boleh diketahui sembarang orang.
Tapi nggak sulit koq buat kamu yang pengen mengunjungi Monjaya ini. Asal berkoordinasi dengan Humas Dinas Pembinaan Potensi Maritim Koarmatim (Dispotmar Koarmatim), Plek Rajawali Denmako Ujung Surabaya. Pemimpin pengunjung rombongan atau perorangan juga wajib mengajukan surat permohonan yang ditujukan Kepada Pangarmatim dengan tembusan dibuat rangkap Tujuh, seperti contoh surat Permohonan ijin mengadakan Kunjungan dibawah ini. Cuman itu aja koq syaratnya.
 
Monjaya : Monumen Tertinggi Kedua Setelah Liberty

Tak kalah dengan New York yang memilki kebanggaan Patung Liberty, Surabaya punya Monumen Jalesveva Jayamahe (Monjaya). Patung ini pun disebut – sebut tertinggi kedua di dunia setelah Patung Liberty yang berada di mulut pelabuhan New York, dengan ketinggian 85 meter. Hmm…penasaran, pengen tau apa aja yang bisa kita lihat di sana?

Sumber

Gedung Internatio

Friday, November 22, 2013 | comments

Sejarah telah banyak menggaungkan kisahnya tentang betapa heroiknya arek-arek Suroboyo melawan penjajah. Kisah fenomenal yang banyak dikenal adalah saat pemuda pemuda Surabaya merobek bendera Belanda di Hotel yang sekarang adalah hotel Majapahit. Tapi ada satu momen yang juga sangat bersejarah dan tidak banyak diketahui adalah saat tewasnya pimpinan tentara Inggris, Brigadir Jenderal Aubertin Mallaby.

Banyak orang yang mengira bahwa Mallaby tewas di Jembatan Merah, tapi sebenarnya peristiwa ini terjadi di sekitar area Gedung Internatio. Tempat inilah yang menjadi markas bagi tentara sekutu.
Setelah pasukan Brigjen Malaby berhasil mendarat di pelabuhan Tanjung Perak pada tanggal 25 Oktober 1945, gedung ini dikuasai oleh pasukan Sekutu. Pada tanggal 28 - 30 Oktober 1945 gedung ini dikepung oleh pejuang-pejuang Indonesia. Sewaktu berusaha menghentikan tembak menembak tersebut Brigjen Mallaby tewas terbakar dimobilnya.

Gedung Internatio atau Internationale Crediten Handelvereeniging, terletak di sudut jalan Heerenstraat dan Willemsplein, yang sekarang disebut jalan Jayengrono, Surabaya. Ini tepatnya terletak di dekat Jembatan Merah Plaza dan Stasiun Jembatan Merah. Daerah ini dianggap sebagai daerah yang sibuk di Surabaya.

Gedung ini dibangun pada tahun 1929 oleh Biro AIA Aristech (Algemeen Ingenieurs en Architecten Bureau) yang terletak di Sumatrastraat 59 Surabaya.
Arsiteknya adalah Ir.Frans Johan Louwrens Ghijsels yang selesai pada tahun 1882. Karya lainnya dari beliau adalah:

- NV Nederlandsch Indische Handelsbank pada tahun 1926
- Rumah Sakit Mata Oendaanstraat, bangunan Aniem di Embong Woengoe.

Gedung Internatio berdekatan dengan Gedung Cerutu dan Gedung Polwiltabes Surabaya. Bangunan cokelat ini memiliki dua lantai, yang masih terlihat kokoh dan berdiri mantap di antara modernisasi.

Sumber 

House of Sampoerna

Wednesday, June 5, 2013 | comments (1)

PT HM Sampoerna atau Sampoerna, salah satu perusahaan rokok terbesar di Indonesia saat ini, didirikan oleh Liem Seeng Tee (1893–1956). Liem Seeng Tee adalah seorang imigran dari sebuah keluarga miskin di provinsi Fujian di Cina. Pada tahun 1898, tidak lama setelah ibunya meninggal, ia bersama ayah dan kakak perempuannya datang ke Indonesia untuk mencari iklim yang lebih bersahabat.
Namun ia harus dipisahkan dengan kakak perempuannya, karena sangat miskin, sehingga ayahnya harus rela anak perempuannya diadopsi sebuah keluarga di Singapura. Tak lama setelah tiba di Indonesia, ayahnya meninggal. Itu yang membuatnya harus mandiri sejak usia 5 tahun di negeri yang asing.
Kemudian Liem diangkat sebagai anak oleh sebuah keluarga di Bojonegoro, sebuah kota kecil dekat Surabaya, dan mulai belajar meracik tembakau yang kemudian dijualnya di stasiun kereta api. Pada usia 17 tahun, ia mulai bekerja mandiri dengan menjual rokok di dalam gerbong-gerbong kereta api.
Pada tahun 1912, tidak lama setelah menikahi Siem Tjang Nio, dia menyewa sebuah warung kecil Tjantian di Surabaya. Mereka menjual berbagai bahan pokok dan produk tembakau. Selain itu, ia juga menjual tembakau dengan menggunakan sepeda menyusuri jalan-jalan di Surabaya. Dari awal yang sangat sederhana ini, perusahaan raksasa Sampoerna dimulai.
Pada tahun 1913, dia mendirikan Handel Maastchpaij Liem Seeng Tee yang kelak menjadi PT HM Sampoerna. Sampoerna terus berkembang menjadi perusahaan besar meski sempat mengalami beberapa masalah. Anda dapat melihat perkembangan sejarah Sampoerna dari warung kecil milik Liem Seeng Tee dan istri hingga menjadi perusahaan besar dengan mengunjungi House of Sampoerna.

House of Sampoerna

Area seluas 1,5 hektar ini terdiri atas beberapa bangunan. Bangunan besar di tengah dan diapit dua bangunan kecil di kiri dan kanannya. Bangunan ini dididirkan pada tahun 1864 dan awalnya digunakan sebagai panti asuhan untuk anak yatim piatu laki-laki.
Pada tahun 1912, panti asuhan dipindahkan ke Jalan Embong Malang. Lalu pada tahun 1932 setelah cukup sukses, Liem Seeng Tee membeli bangunan ini sebagai pabrik rokok Sampoerna. Sejak itu, tempat ini dikenal sebagai Pabrik Taman Sampoerna.

Bangunan Besar House of Sampoerna

Di bangunan utama yang besar, pada awalnya terdapat aula yang cukup luas. Oleh karena itu, atas ide istri Liem, aula tersebut dibuat menjadi gedung bioskop dengan nama Sampoerna Theater. Gedung bioskop ini dilengkapi dengan panggung berputar dan lantai buatan untuk efek khusus, sehingga membuatnya menjadi salah satu gedung theater terhebat pada masanya. Ir Soekarno sering menggunakan aula ini untuk mengobarkan semangat perjuangan pada masa penjajahan. Bahkan Charlie Chaplin pernah mengunjungi gedung bioskop itu.
Saat ini, bangunan utama dijadikan museum rokok House of Sampoerna. Saat memasuki bangunan ini, aroma cengkeh bisa tercium. Di ruang pertama dalam bangunan besar ini, Anda dapat melihat replika warung rokok yang pertama kali digunakan oleh Liem Seeng Tee untuk berjualan bahan pokok dan tembakau. Anda juga bisa menyaksikan sepeda tua miliki pendiri Sampoerna yang digunakan untuk berjualan rokok. Selain itu, terdapat berbagai barang pribadi seperti kebaya, sarung, dan furnitur tua milik pendiri Sampoerna.
Di bagian tengah bangunan utama, terdapat berbagai foto dari direktur dan komisaris Sampoerna. Selain itu terdapat berbagai koleksi rokok dan korek api yang dipamerkan di sini. Lalu di ruang paling belakang masih di bangunan utama, terdapat berbagai alat produksi rokok dari Sampoerna pada masa awal. Misalnya alat produksi rokok serta mesin cetak tua. Anda juga bisa melihat berbagai peralatan riset untuk pembuatan rokok dari departemen R&D pada masa itu.
Di bagian belakang bangunan utama, terdapat pabrik yang cukup luas untuk memproduksi rokok. Hingga saat ini, bangunan ini masih digunakan untuk memproduksi rokok Sampoerna yang cukup merakyat yaitu Dji Sam Soe dan diproses secara tradisional. Anda bisa menyaksikan proses pembuatan rokok di salah satu ruangan pabrik ini dari panggung di lantai 2 bangunan utama. Pabrik dibuka pada hari Senin hingga Sabtu dari jam 6 pagi hingga 3 sore. Ada 234 pekerja yang membuat produk tembakau di ruangan ini dengan latar belakang musik tradisional. Setiap pekerja mampu memproduksi 325 batang rokok per jam!

Rumah Keluarga Sampoerna

Kemudian di bagian kanan dan kiri bangunan utama, terdapat bangunan yang lebih kecil. Kedua bangunan ini di sebut Rumah Barat dan Rumah Timur. Kedua rumah ini memiliki denah terbalik (seperti cermin). Dulunya, bangunan ini digunakan sebagai tempat tinggal keluarga Sampoerna. Pendiri Sampoerna memiliki prinsip bahwa mereka sekeluarga harus tinggal di lokasi pabrik agar bisa mengendalikan bisnis dengan lebih efisien dan efektif. Selain itu, pendiri Sampoerna ingin mengajarkan anak-anak lelakinya untuk belajar berbisnis secara langsung.

Rumah Barat

Sebagai tradisi, sejak saat itu hingga sekarang, keluarga Sampoerna masih menempati salah satu bangunan ini. Tepatnya di bangunan sebelah kiri bangunan utama atau Rumah Barat, masih ditempati oleh generasi berikutnya keluarga Sampoerna. Awalnya yang menempati adalah Liem Seeng Tee dan keluarga, kemudian ditempati oleh anaknya yaitu Aga Sampoerna dan saat ini ditempati oleh Putera Sampoerna bersama keluarganya. Di Rumah Barat juga terdapat sebuah mobil Rolls Royce buatan tahun 1972 yang diproduksi terbatas. Mobil ini miliki generasi kedua keluarga Sampoerna yang dibawa dari Singapura sehingga masih memiliki nomor plat SL 234. Rumah Barat karena masih ditempati keluarga Sampoerna, maka tidak dibuka untuk umum.

Rumah Timur

Rumah Timur atau di sisi kanan bangunan utama, awalnya ditempati oleh Adi Sampoerna, anak pertama pendiri Sampoerna. Kemudian rumah ini sempat digunakan untuk berbagai fungsi termasuk kantor. Saat ini, rumah ini digunakan sebagai kafe. Di sini Anda bisa menikmati berbagai makanan dan minuman sambil menikmati sajian live music. Anda juga bisa menyaksikan berbagai even atau pameran yang diselenggarakan di sini.

Wisata Museum Rokok

Meski rokok berbahaya untuk kesehatan, namun tidak ada salahnya Anda mengunjungi museum yang terletak di lokasi kota tua Surabaya ini. Anda bisa belajar banyak hal dari cara berbisnis Liem Seeng Tee, pendiri Sampoerna, yang ulet. Selain itu, Anda bisa belajar sejarah salah satu pabrik rokok terbesar yang ada di Indonesia yaitu Sampoerna. House of Sampoera bisa menjadi salah satu tujuan wisata kota ketika Anda mengunjungi kota Surabaya.

House of Sampoerna
Jam Buka:
Setiap: 09.00-22.00 WIB
Gratis untuk Umum

Alamat:
Taman Sampoerna 6
Surabaya
Jawa Timur
60163
Telp: (031) 353 9000
 

Gedung Negara Grahadi

| comments (1)

Gedung Negara Grahadi adalah salah satu bangunan di Surabaya  yang sarat akan nilai sejarah. Dibangun pada tahun 1795 oleh seorang Residen bernama Dic Van Hogendorp (1794 – 1798). Tanah yang dibeli dari saudagar China tersebut oleh Hogendorp dianggap seperti rumah sendiri. Ketertarikannya terhadap Jembatan Merah membut ia ingin tinggal di kawasan ini. Hogendorp menghabiskan 14.000 ringgit untuk membangun hunian bernuansa rumah kebun. Sayangnya, di atas tanah yang bukan menjadi bagian dari wilayah kekuasaannya tersebut ia hanya menikmati selama 3 tahun karena ditangkap dan dibawa ke Batavia. Setelah itu, Gedung Negara Grahadi berada di bawah kepemilikan pemerintahan Belanda.
Pada awal dibuatnya, Gedung Grahadi berada di sebelah utara menghadap Kalimas. Lokasinya berada di pinggiran kota. Pada masa itu Gedung Grahadi diperuntukkan sebagai rumah kebun untuk peristirahatan pejabat Belanda. Sesekali waktu, digunakan pula sebagai tempat pertemuan atau pesta. Keindahan tampak pada sore hari, sambil minum-minum teh penghuninya dapat melihat kesibukan di sungai Kalimas. Tampak perahu dan kapal para pedagang hilir-mudik menelusuri kali tersebut. Tampak para saudagar dan pedagang kaya yang  datang dan pergi untuk sekedar menaikkan atau menurunkan barang dagangan mereka ke kapal. Keindahan Kalimas yang awalnya dapat dinikmati dari gedung ini memudar ketika diubah letaknya menghadap ke selatan (1802). Jenderal Daendels, pernah melakukan perbaikan pada gedung Grahadi ketika ia mengunjungi Surabaya pada tahun 1810. Daendels ingin Grahadi menjadi sebuah Istana.
Gedung yang kini menjadi Kantor Gubernur Jawa Timur tersebut memiliki luas 76.885 meter persegi dan terdiri dari dua lantai dengan ornament gaya Romawai. Bangunan yang dibuat pada 1929 sampai 1931 di arsiteki seorang Belanda bernama Ir. W. Lemci. Gedung ini pernah menjadi tempat perundingan Presiden Soekarno dengan Jenderal Hawtorn pada Oktober 1945 untuk mendamaikan pertempuran pejuang dengan pasukan sekutu. Dari gedung ini juga pada 9 November 1945 pukul 23.00 WIB Gubernur Suryo memutuskan menolak ultimatum menyerah tanpa syarat pada Inggris. Penolakan tersebut berakhir dengan kematian Gubernur Suryo  dan dua polisi pengawalnya pada 10 November 1945, atau tepatnya sehari setelah perudingan tersebut. Untuk mengenang jasanya maka dibangun Monumen Gubernur Suryo yang berada di jalan Gubernur Suryo.
Sejak tahun 1991, Pemerintah Provinsi Jawa Timur membuka Gedung Grahadi sebagai destinasi wisata. Kantor yang letaknya berada di seberang Tugu Pahlawan  ini mempertahankan berbagai ornamen dan bentuk asli. Kita bisa melihat ruangan-ruangan yang dulu digunakan sebagai kantor dan tempat istirahat para pejabat Belanda. Selain itu wisatawan akan menjumpai gaya arsitek yang artistik pada dinding-dinding ruangan. Para pengunjung dapat mengajak keluarga untuk melihat dari dekat keindahan gedung yang sarat akan nilai edukasi dan sejarah. Selama berada di Surabaya, Anda bisa menginap di Singgasana Hotel, Hotel Oval, atau Hotel Tilamas.

Monumen Gubernur Suryo

| comments

Monumen Gubernur Suryo
Monumen Gubernur Suryo adalah monumen penghormatan yang ditujukan untuk Gubernur pertama Jawa Timur yang telah terbunuh selama pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948. Monumen ini terletak di Kompleks Taman Apsari di Jalan Gubernur Suryo di depan Gedung Negara Grahadi.
Di bawah patung terdapat prasasti yang ditulis pada 9 November 1945, pukul 23.00 PM di Nirom Broadcast, Jalan Embong Malang Surabaya (saat ini Hotel JW Marriot). Prasasti tersebut berbunyi:
"Berulang kali kami telah diberitahu bahwa lebih baik jatuh berkeping-keping daripada dijajah lagi. Dan sekarang dalam menghadapi ultimatum Inggris, kita akan berpegang teguh untuk menolak ultimatum "
Selain sebagai simbol kebesaran Gubernur Suryo, di sekitar monumen tersebut juga selalu di jadikan tempat berkumpul pemuda pemudi Surabaya saat malam minggu atau saat malam di hari-hari biasa. 

 
Support : Web Design | Dealer Mitsubishi | Dealer Isuzu
Copyright © 2011. Berita Surabaya - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Google